Dulu, ditempat kerja yang lama sewaktu saia masih di Batam, jabatan yang
saia pegang tidak hanya berkutat dengan paper work atau hal2 yang berbau
administrasi tetapi juga pekerjaan praktis, yang menuntut saia untuk terjun
secara langsung ke lapangan untuk meninjau suatu proyek. Bukan, bukan suatu
proyek yang besar dan maha dahsyat. Hanya proyek kecil yang berdurasi paling
lama 1 bulanan. Saia tidak akan menyebutnya sebagai sesuatu yang ecek-ecek dan
siprriillll. Segala sesuatu yang namanya tanggung jawab itu harus dilakukan
sebaik mungkin, tidak peduli besar atau kecilnya tanggung jawab tersebut.
3 bulan pertama, saia berusaha keras untuk beradaptasi dengan ritme kerja,
alur administrasi sampai ke pergaulan sosial. Hasilnya? Sukses. Saia berhasil berdaptasi
dengan ritme kerja, mengerti dan memahami alur administrasi suatu proyek sampai
diterimanya saia di lingkup pergaulan sosial dengan rekan2 kerja disana. Hasil
adaptasi tersebut saia nikmati sampai 2 bulan kemudian. Hingga akhirnya sampai
di titik jenuh. Bulan ke-6, saia berpikir untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Sesuatu yang membuat saia yang tadinya “kelas 12” menjadi “kelas 13”. Dan ini
cara saia untuk lepas dari belenggu kejenuhan. Tidak membutuhkan waktu yang
lama untuk saia “naik kelas”. Di bulan ke-7, saia sudah dinyatakan naik ke
“kelas 13”. Dengan apa? Tentunya dengan berinovasi, menciptakan sesuatu yang
baru. Ritme kerja yang selama ini adem ayem, saia buat menjadi dinamis. Saia
membuat rekan kerja dan pimpinan tidak menganggap remeh posisi ini. Ya, dulunya
posisi ini bisa dibilang posisi yang “cemen”, karena memang kalau saia pikir
sih orang2 terdahulu tidak capable untuk berada diposisi ini. Ruang lingkup
kerja saia perluas, tidak hanya menerima data mentah dari lapangan, tapi saia
juga harus nyebur dan mengobservasi keadaan di lapangan dengan mata kepala saia
sendiri untuk kemudian mengolah data itu sehingga dapat diproses untuk
diuangkan.
Tidak hanya ritme kerja yang saia jadikan dinamis, tapi juga alur
administrasi yang tadinya berbelit dan terlalu banyak kepala yang terlibat
dalam proyek “kecil” itu, saia pangkas. Ringkas dan cepat. Semua yang sekiranya
bisa saia handle sendiri, akan saia kerjakan dg mandiri, tanpa perlu menunggu
hasil pekerjaan orang lain.
Berada di “kelas 13” membuat orang sekitar merasa aware dengan keberadaan
“posisi” saia. Yang dulunya menganggap siapa saja bisa menjadi di posisi ini,
sepertinya sekarang tidak lagi. Karena standard yang sudah saia pasang untuk
posisi tersebut tidaklah main2. Baik itu standard gaji maupun standard calon
karyawannya sendiri.
Sampai di suatu saat, tepat di bulan 12, di bulan yang sama setahun
kemudian saia memutuskan untuk menyudahi belajar di “sekolah” ini. Jenuh? Tidak
sepenuhnya karena itu. Tetapi lebih karena saia harus “naik kelas” lagi. Di sekolah
yang ini, kelas yang ada untuk saia ternyata mentok do “kelas 13”, tidak bisa
naik kelas lagi. Hufffttt, ya sudah, solusinya saia harus mencari sekolah lain
yang menawarkan “kelas 14”. Dan disinilah saia sekarang. Masuk ke “kelas 14”.
Sudah memasuki bulan ke 5, dan saia masih di fase adaptasi. Agak lama memang.
Sepertinya saia harus menyusun ulang strategi “belajar”. Strategi lama terlalu
usang untuk digunakan disini.
Hari ini, saia merasa gagal. Persiapan belajar saia tidak matang. Kurang
belajar, kurang observasi, kurang data dan evidence, kurang confidence, terlalu
takut salah, dan tidak bisa me-manage waktu.
Ujian satu semester saia bekerja diposisi ini akan dimulai. Kesuksesan di
mid semester kemarin, ternyata masih belum ada apa2nya. Besok, saya akan ada
proyek “kecil” lagi. Meski agak gagal di persiapan awal hari ini, tapi pimpinan
saia masih mempercayakan proyek “kecil” ini menjadi milik saia. Meskipun masih
di-guide oleh senior saia, tapi tak apa, belajar itu bukan berakhir di berapa
nilai akhirnya, tapi lebih ke kecepatan proses belajar itu sendiri. Tak apa
gagal di persiapan hari ini, tapi besok, jangan lagi ada kata gagal.